Tanah merah, buah merah, dan beberapa hal yang serba merah mungkin tidak salah bila dipersepsikan dengan Papua. Sisi barat pulau Papua yang menjadi wilayah Republik Indonesia dan dulunya diberikan nama sebagai Ikut Republik Indonesia Anti Nederland (IRIAN) pada awalnya memang merupakan kawasan yang tidak tersentuh dunia luar. Berbagai suku asli yang menjadi penduduk pulau ini kebanyakan berada di pegunungan-pegunungan yang berjajar di wilayah pedalaman.
Berbicara mengenai Papua Barat, khususnya wilayah Sorong, cikal bakal penduduk asli daerah ini dikenal sebagai suku Malamoi atau kini lebih sering disebut suku Moi saja. Di samping berkaitan erat dengan tanah merah maupun buah merah, orang Moi juga sangat lekat dengan kain merah. Kain merah, pita merah, tali merah ataupun benang merah seringkali hadir bersama palang kayu. Palang kayu dengan kain pita merah yang terikat padanya memiliki makna adat yang sangat kuat bagi orang Moi.
Perselisihan atau konflik berbagai persoalan sosial kemasyarakatan di bumi Papua, khususnya wilayah Sorong seringkali berujung dengan penyegelan atau blokade dengan pemalangan kayu yang dilengkapi dengan atribut pita atau kain merah. Blokade ini bisa dilakukan terhadap jalanan, kantor, tanah, bahkan hutan yang lebih luas. Jika pita merah telah dipasangkan pada kayu yang dipalangkan, maka dari sudut pandang keyakinan adat masyarakat setempat ada indikasi pelanggaran atau perendahan terhadap satu kelompok atau suku terhadap kelompok suku yang lain, bahkan yang sering terjadi dari pihak luar terhadap suku asli Sorong.
Palang kayu dengan pita merah adalah ekspresi ketersinggungan harga diri, masalah harkat dan martabat yang harus dibela hingga mati sekalipun. Tentu saja bukan main-main pula konsekuensi hukuman adatnya. Pihak yang dianggap melanggar adat atau hak masyarakat adat akan dikenakan denda adat yang tidak sedikit jumlahnya.
Sorong, 21 September 2016
Gambar dipinjam dari sini.