Bermain dan bernyanyi, mungkin cara itulah yang saya alami di awal masa-masa mengenal dunia sekolah taman kanak-kanak. Guru-guru sekolah di masa itu mungkin tidak mengenal ataupun paham dengan teori pengajaran dan pendidikan yang muluk-muluk. Bagi kebanyakan mereka, menjalani profesi guru adalah sebuah panggilan jiwa. Dengan panggilan itulah kemudian tumbuh cinta yang kemudian menjadi energi luar biasa untuk mendidik anak bangsa dengan berbagai kreativitas dan metode yang diimprovisasi sesuai kebutuhan di lapangan.
Metode pendidikan jaman dulu, secara teoritis mungkin kalah canggih dibandingkan metode di jaman modern yang serba melek informatika saat ini. Dengan segala keterbatasan di lapangan, justru para guru itu menemukan banyak ragam cara mengajar yang justru membangkitkan anak didik untuk mencari ilmu dan bukan sekedar mendapatkannya dengan cara menghafal. Memang tidak semua guru memiliki kesadaran sebagaimana saya gambarkan, tetapi saya cukup beruntung memiliki guru-guru yang mungkin melampaui jamannya dalam mendidik siswa-siswinya.
Salah satu metode yang dulu sangat membekas memberikan muatan ilmu pengetahuan yang seolah tidak pernah lekang oleh jaman adalah denga menyanyi bersama. Ada banyak lagu-lagu yang dikemas syarat dengan makna ajaran hidup yang sangat mendalam. Salah satu contohnya adalah lagu Bocah Cilik-cilik yang pernah saya kenal.
Lagu ini pada awalnya mengajarkan bagaimana seorang siswa harus bersikap hormat tatkala guru sedang menjabarkan ilmu pengetahuan di depan kelas. Bagaimana si anak dididik untuk hormat, tenang dan mendengar dengan seksama penuh konsentrasi. Dalam suasana yang tenang dan nyaman, ilmu akan mudah disemai dan ditanam. Betapa anak tidak perlu merasa diperintah untuk diam, tertib, menjaga ketenangan, namun mereka langsung menerapkan hal itu yang muncul dari sebuah kesadaran. Dan uniknya kesadaran itu ditumbuhkan melalui sebuah syair lagu.
Demikian kira-kira lirik lagu Bocah Cilik yang saya maksudkan. Sebuah lagu dalam bahasa Jawa yang dikarang oleh entah siapa.
Siji-loro-telu, astane sedheku
Mirengake Bu Guru, menawa didangu
Papat nuli lima Dik, lenggahe sing tata
Aja padha sembrono, mundhak ora bisa
Bocah cilik-cilik, jejer tharik-tharik
Sandhangane resik, tumindake becik
Allah iku siji tanpa konco
Tanpa garwa lan ora peputra
Tanpa bapa lan ibu wis cetha
Ya iku Gusti Allah Kang Nyata
Islam agamaku, Allah Pangeranku
Muhammad Nabiku, Al Qur’an kitabku
Aku bisa nulis, Arab Jawa wasis
Ngaji iya uwis nanging durung titis
Tidak hanya mengajarkan bagaimana bersikap tertib tatkala menerima pelajaran di dalam kelas, lagu ini lebih lanjut juga menanamkan nilai-nilai ketauhidan Islam. Bagaimana diajarkan bahwa Tuhan itu Esa, tidak memiliki teman, istri maupun anak. Bukankah ini nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam surat Al Ikhlas?
Setelah nilai tauhid tertanam, derajat manusia harus meningkat dari manusia islam menjadi manusia yang beriman. Adapun pedoman manusia yang beriman adalah ajaran mengenao rukun iman. Diantara rukun iman yang enam, ada iman kepada Allah, kepada nabi dan kitab-kitabNya. Luar biasa bukan?
Melalui lagu atau tembang, anak-anak secara tidak sadar justru sedang diarahkan untuk menemukan kesadaran yang sejati. Itulah hakekat tujuan sebuah proses pembelajaran, tidak hanya menjadi anak pandai namun lebih daripada itu adalah mencetak manusia sejati, manusia seutuhnya, manusia yang benar-benar manusia.
Saat ini dunia, terlebih bangsa kita sedang mengalami banyak kemunduran di berbagai bidang kehidupan adalah karena kita di hari ini sudah semakin jauh dari diri kita sebagai manusia. Kebanyakan dari kita mungkin kini telah menjelma menjadi kera, kambing, sapi, kerbau, tikus, ular, segala macam binatang melalui sifat-sifat hewaniah yang tertanam dan menjadi hiasan kehidupan kita sehari-hari. Monggo kembali merenung. Bukankah hari adalah Hari Kebangkitan Nasional? Monggo bangkit dari keterpurukan bersama-sama.
Ngisor Blimbing, 20 Mei 2016