Sejauh-jauhnya kita di perantauan, pada suatu ketika kita tentu merasakan kerinduan terhadap kampung halaman. Sawah ladangnya, sungai-sungai dan lapangan rumputnya, juga sanak saudara serta handai taulan yang ngengeni. Semua hal seolah muncul di angan bahkan di pelupuk mata kita akibat hati dan pikiran yang tengah dilanda rasa kangen. Perasaan inilah yang akhir-akhir terasa sangat mengganjal di dalam hati ini, meskipun baru sekitar setengah tahunan tidak menyapa kampung halaman di Tepi Merapi.
Dulu di kala masih muda dan belum memiliki “buntut” anak istri, hampir setiap bulan selalu menyempatkan diri pulang kampung. Jarak Jakarta – Magelang seolah tidak lagi terasa jauh sehingga wira-wiri seolah sudah menjadi kebiasan dan kebutuhan. Kini segalanya sudah banyak yang berubah. Kesempatan ruang dan waktu untuk sering pulang kampung menjadi semakin jarang.
Di bulan Maret ini, sebenarnya terpampang dua tanggal merah yang memungkinkan untuk menambah liburan, termasuk untuk menyempatkan diri pulang kampung. Tanggal 9 Maret bersamaan dengan kejadian gerhana matahari total, ternyata takdir justru membawa saya ke salah satu wilayah ujung utara tanah air. Bahkan hari keberangkatan dan kepulangan yang cukup mepet menjadikan saya justru kehilangan libur tanggal merah dan akhir pekan. Yah, semua sekedar menjalani sebuah tugas yang memang telah digariskan.
Nah giliran menjelang akhir bulan, kita kembali berjumpa dengan sebuah tanggal merah di hari Jum’at. Meskipun sedikit tanggung tetapi hari tersebut harus tetap disyukuri karena menambah waktu libur barang sehari. Rencana punya rencana, akhirnya saya putuskan untuk menyempatkan diri menyambangi kampung halaman setelah hampir tujuh bulan tidak sempat menyapanya. Rindu semakin membuncah, maka tidak ada tekad lain selain harus pulang.
Tulisan senada dengan hati, insya Allah aku juga mudik, walau waktu harus terbagi-bagi, termasuk buat Merapi, (Jurangjero lagi hitz di Instagram) Semoga Cipali lancar.
SukaSuka
wah saya malah tidak kebagian waktu untuk menengok Jurangjero…
SukaSuka